Jingga : Matahari Senja

06:00 Frisca Putri 0 Comments



Pernahkah kau bertanya pada jingga, Mengapa dia harus meluluh di ufuk Barat? Meninggalkan gemerlap emas berbalut biru. Menghilang dengan tenang dalam kegelapan malam.

Pernahkah kau bertanya pula kepada malam, mengapa terkadang bulan tersaput pekat awan? Tersamar olehnya rona perak dari bulatan sempurna. Begitu jernih, begitu bersih. Namun tetap, melingkupi manusia akan kerisauan yang dalam.

Pernahkah jingga mengecewakanmu, dengan senyumannya yang samar, kemudian menghilang di tengah hingar malam? Meninggalkan kekosongan di dalam jiwa, ketakutan akan kegelapan yang pekat tak berujung. Apakah akan melihat cahaya lagi?

Atau mungkin kau pernah kecewa kepada bulan, saat dia terlampau menerangi malam, dan kelam itupun tampak tak berdaya? Sementara kau butuh satu malam tenang. Satu malam tanpa harus terisak bahagia sekaligus senyum kekhawatiran. Karena berpisah dengan sinar bulan itu, begitu memilukan.

Mungkin bagiku, senyuman jingga itu adalah aku. Menghiasi langit senja dengan senyuman semarak. Membuat siapapun yang melihat ikut merasakan kehangatan yang menyenangkan. Dan kemudian harus menghilang. 

Karena memang ketentuan takdir, memaksanya kesana.

Dan mungkin, bagimu bulan adalah kamu. Menerobos masuk kedalam malam, membutakannya sekejap dengan kilau keperakan. Pesona misterius yang indah. Namun kembali menghilang.

Karena memang ketentuan takdir, memaksanya kesana.

Pernahkah berfikir bahwa sebenarnya akulah mentari senjamu, dan engkaulah rembulan malamku? Terkadang bertemu di suatu titik. Berpeluk hangat bertukar sapa mesra. Namun tidak pernah ditakdirkan untuk bersama-sama menghiasi langit bumi ini.

Bumi, tidak membutuhkan kita berdua sekaligus. Bumi hanya butuh satu. Iya, hanya satu sandaran cahaya. Sehingga, siang maupun malam, bumi tetap dapat memantulkan gelombang warna untuk menghiasi permukaannya. Itulah, mengapa kemungkinannya kecil untuk kita bisa bersama.

Kecuali, terkadang aku pernah merasa menjadi bumi, dan kamupun pernah merasakan hal yang sama. Mungkin kita pernah saling menikmati cahaya satu sama lain. Aku merasakan cahaya rembulanmu yang penuh dengan misteri, dan kamu merasakan cahaya jinggaku yang semarak.

Tapi, semua itu hanya akan menjadi pernah. Bukan selalu. Apalagi selamanya.

Karena memang begitulah suratan takdirnya.

Mungkin.

Birah-birahan, 11.33 pm.
Cant sleep. Because i see my moon rite now. How bout you?


*hanya sekedar gerutuan lama yang didaur ulang*

---------  
Day 7. *checked*
Feeling Faithfully,
Regards. FDP.

0 comments: