|
Pesut sebagai lambang kota Samarinda |
Kota dengan sejuta mimpi dan
sejuta harap. Mimpi untuk menjadi kota besar bebas banjir berdaya wisata
tinggi. Serta harap untuk bisa hidup aman tentram tanpa masalah berarti. Tapi,
siapa yang bisa menjalani kehidupan di muka bumi ini tanpa masalah? Meskipun
begitu, saya yakin masyarakat Samarinda sudah cukup lelah untuk membahas
persoalan negatif dari kota kesayangan ini. Namun, saya pun percaya ini tetap
harus dibahas. Sampai pada akhirnya semua masalah itu terselesaikan. Semoga
saja.
Percaya atau tidak, Samarinda
merupakan Ibu Kota Provinsi yang sebagian besar wilayahnya adalah tambang batu
bara. Tepatnya 71 % wilayah Kota Samarinda merupakan tambang batu bara. Mari
kesampingkan sejenak soal keuntungan bagi pendapatan daerah kota Samarinda.
Pertanyaannya lebih kepada, apakah pemerintah Kota Samarinda begitu mudahnya
memberikan ijin tanpa memperhatikan tata letak dan ruang untuk pembangunan
sebuah kota? Dan kemudian pertanyaanya akan bergulir kepada apakah semua
tambang di Samarinda punya ijin yang valid dari pemerintah?
Baiklah, mari kita santai
sejenak. Karena terus terang soal perijinan pemerintah, tata ruang kota, AMDAL
dan lain sebagainya itu bukan wilayah kekuasaan saya. Saya hanyalah penduduk
Samarinda yang mencintai kota ini dengan amatir. Bagi saya, Samarinda bebas
banjir, punya banyak ruang terbuka hijau, tidak macet, dan merasa aman meskipun
harus pulang malam, adalah perwujudan dari harapan dan mimpi terbesar saya
sebagai warga Samarinda. Itu adalah puncak kebahagiaan saya. Namun, belakangan
justru Samarinda semakin buruk saja citranya.
***
Tambang.
|
Ponton berisi muatan batu bara yang melewati Sungai Mahakam. |
Bagaimanapun selalu ada dua sisi
perspektif dari sebuah masalah. Sebenarnya mau tidak mau saya cukup bangga
terhadap kekayaan bumi Kalimantan yang melimpah ruah dan membuat salah satu
kabupaten di Kalimantan Timur ini menyandang status Kabupaten terkaya di
Indonesia. Karena jika saya bandingkan dengan beberapa wilayah lain di
Indonesia, saya termasuk dalam golongan orang-orang yang jemawa akan hal itu.
Betapa tidak, ketika saya menyebutkan asal saya dari Kalimantan saja, pandangan
mata mereka langsung menyiratkan kehormatan. Sudah biasa dianggap orang kaya,
padahal sebenarnya sama melaratnya. Dan itu memang tidak bisa dipungkiri, taraf
hidup dan bahkan jumlah penghasilan perbulan untuk profesi yang sama saja bisa
jauh berbeda.
Namun, saya juga pernah pergi ke
suatu daerah yang kekayaan alamnya diduga juga sangat melimpah ruah. Hanya saja
masyarakatnya sepakat untuk tidak mengijinkan adanya kegiatan pertambangan
sehingga keadaan alamnya masih terjaga dan sangat indah. Saya kemudian kagum,
namun sesaat kemudian maklum. Karena dengan tidak adanya kegiatan eksplorasi,
yang biasanya dilanjutkan dengan eksploitasi, daerah tersebut menjadi jauh
tertinggal. Baik dalam bidang Ekonomi, Pendidikan, Sarana Prasarana, dan lain
sebagainya. Ha! Hidup memang sebuah pilihan bukan? Meskipun, tetap saja ada
sebuah daerah yang kekayaan alamnya di gali habis-habisan, dan daerah
tersebut sama sekali tidak mendapatkan timbal balik apapun. Ada.
***
Tambang Batu Bara.
Seperti yang banyak orang juga
ketahui, tambang batu bara sangat menguntungkan bagi sebagian besar orang,
namun bagian yang menderita justru lebih besar lagi. Saya tahu, mereka para
pekerja tambang termasuk dalam kategori penyandang penghasilan diatas rata-rata
UMR. Itu pekerja kasarnya. Belum lagi dihitung untuk para pekerja “ringan” yang
hanya melihat-lihat saja sudah digaji, entahlah berapa banyak digit yang
terlewat dari angka UMR. Pasti lebih banyak lagi. Lalu bagaimana dengan
pemiliknya? Sudahlah. Kita sama-sama tahu siapapun pemiliknya, pasti menyandang
status Miliarder.
|
Salah satu conveyor yang langsung mengarah ke Sungai Mahakam. |
Tapi, apa kemudian itu semua bisa
dibilang keuntungan jika hanya sebagian yang menikmati hasilnya sementara yang
lain meratapinya? Biar lebih jelas, mari saya jabarkan poin-poin penting
kerugian yang diderita oleh sebagian besar masyarakat Samarinda semenjak
tambang meraja memenuhi 71% wilayah Kota Samarinda.
Dan, saya yakin, selain 7 poin di
atas, masih banyak lagi dampak buruk yang dihasilkan oleh Tambang Batu Bara
yang merugikan penduduk. Terutama tambang yang tidak jelas perijinannya, tidak
jelas kegiatan pasca-tambangnya. tambang yang hanya mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa repot-repot memikirkan bagaimana penanggulangan ketika
batu baranya telah habis dikuras.
***
Samarinda dan Tambang Batu Bara.
|
Peta Tambang Batu Bara di Kota Samarinda. (Sumber : Jatam Kaltim) |
Sampai saat ini diketahui bahwa lahan
tambang batu bara di wilayah kota Samarinda memakan sekitar 71% dari total luas
kota Samarinda. Memang kelihatannya tidak bersinggungan langsung dengan saya
yang beraktifitas di kota Samarinda, karena kegiatan sehari-hari saya memang
hanya wilayah itu-itu saja. Padahal, daerah sekitaran tempat tinggal saya,
yaitu Sempaja, termasuk salah satu wilayah tambang yang besar.
Tempo hari, saya diberi
kesempatan untuk melihat lebih dekat. Merasakan secara langsung pengalaman para
penduduk yang dirugikan. Yang pada akhirnya bisa membayangkan dengan pasti
bagaimana penderitaan mereka sebagai manusia yang bersinggungan langsung dengan
tambang. Untuk itu, saya berterima kasih terhadap JATAM karena memfasilitasi
saya untuk mendapatkan perspektif baru.
Ada 232 lubang tambang di
Samarinda yang masih belum jelas statusnya bagaimana. Dan mari mengingat yang
telah lalu, sampai 2016 kemarin tercatat 15 anak yang meninggal di lubang
tersebut. Dan ada 15 keluarga yang berduka namun belum mendapatkan kejelasan
apapun dari pihak perusahaan tambang selain ungkapan belasungkawa. Pemerintah?
Ambil sisi baiknya saja, mungkin pemerintah terlalu sibuk memikirkan hal lain
sehingga masih sanggup menutup sebelah mata untuk kasus ini. Yap. Untuk 15
kasus ini.
Saya diberi informasi mengenai
banyaknya perusahaan tambang yang bekerja di Hulu Sungai Karang Mumus. Totalnya
21 perusahaan dan 11 diantaranya masih aktif. Saya yakin, 10 diantaranya yang
sudah tidak aktif tidak ambil pusing mengenai hal reklamasi. Karena sampai
sekarang tidak ada kabar lebih lanjut mengenai itu. Apakah masih akan proses?
Atau hanya seperti tamu yang tidak tahu diri, dipersilahkan masuk, merusak, dan
kemudian pergi bersama angin? Entahlah, saya hanya bisa berandai-andai.
|
Dari kiri : Pak Baharudin - Pak Komari - Ibu Rahmawati |
Dalam kesempatan kunjungan
langsung ke tempat yang berbatasan langsung dengan Tambang Batu Bara, saya dan
beberapa rekan penulis lain dibawa ke Makroman. Salah satu wilayah yang
dibanggakan Samarinda atas jerih payah warganya mengedepankan bidang pertanian
dan perkebunan di sana. Makroman merupakan salah satu penyumbang terdepan untuk
beras di wilayah Samarinda. Sayangnya, hal yang dibanggakan ini harus rusak
rutinitasnya akibat tambang batu bara.
Saya kemudian dipertemukan dengan
bapak Baharudin, ketua kelompok tani di Makroman yang rumahnya dekat sekali
dengan lahan tambang dari CV. Arjuna. Beliau salah satu warga yang paling aktif
dalam memerangi tambang. Karena bagaimanapun tambang tersebut akhirnya merusak
sumber pendapatannya.
|
Lahan pertanian yang berbatasan langsung dengan wilayah tambang |
Diketahui, sejak 2008 perusahaan
tambang ini beroperasi. Dan memusnahkan pasokan air bersih untuk kebutuhan
lahan pertanian warga. Sehingga sekarang, dalam proses penanaman padinya, air
yang digunakan adalah air dari danau lubang tambang di dekat sawah mereka.
Otomatis dengan air hasil lubang tambang yang mengandung mineral-mineral yang
berdampak buruk bagi makhluk hidup, hasil dari pertanian tersebut merosot
drastis.
“Dulu sebelum ada tambang hasil
panen kami bisa mencapai 7 ton beras, kalau sekarang paling banyak 3,5 ton.
Belum lagi kolam ikan saya kalau musim hujan dan limbahnya turun, Desember ini
saja indukan ikan Nila di satu kolam itu mati semua, sekitar 300-500 ekor. Dan
tidak ada ganti rugi dari pihak perusahaan.” Katanya.
Saya juga bertemu salah satu
petani yang menggarap sawah di wilayah itu juga. Bapak Komari yang sudah
bertani sejak tahun 1985 Makroman. Beliau juga merasa bahwa hasil pertaniannya
berkurang jauh dan semakin sulit saja semenjak ada tambang. Penghasilannya
sekarang hanya cukup untuk makan keluarga. Sangat memprihatinkan sebenarnya,
namun apakah perusahaan tambang melihat itu? Tidak. Mereka mungkin melihat,
tapi mereka tidak peduli. Pemerintah? Sudahlah, saya tidak ingin berkomentar
lebih jauh lagi.
|
Lubang bekas tambang di Makroman |
Selain itu, saya juga dibawa
menuju wilayah Sempaja menemui Ibu Rahmawati. Seorang ibu dari 4 orang anak
yang harus rela kehilangan anak nomer 2 karena tenggelam di lubang tambang.
Tidak ada yang lebih perih bagi orang tua daripada melihat kematian anaknya
sendiri.
“Seperti badai di siang bolong
ketika mendapat kabar tersebut. Saya tidak pernah menyangka anak saya tenggelam
di sana. Padahal anak saya jarang main di kolam karena memang tidak bisa
berenang.” Kata Ibu Rahmawati.
Selain tidak ada tanda larangan
mendekat, PT. Graha Benua Etam sepertinya tidak mau repot-repot mengurusi bekas
“mahakarya”-nya. Setelah kejadian itupun, tanda larangan baru dipasang. Dan
kemudian setelah beberapa waktu berlalu lubang itu ditutup, diuruk asal-asalan.
“Sampai sekarang tidak ada
perwakilan dari pihak terkait mengenai tindak lanjut masalah anak saya yang
menjadi korban. Saya akan terus berjuang menuntut keadilan untuk itu. Agar
nantinya tidak ada lagi yang bernasib seperti saya.” Lanjut Ibu Rahma.
Ditanya mengenai harapan lebih
lanjut untuk wilayah pertaniannya di Makroman, bapak Komari tidak berkomentar
apa-apa. Mungkin harapan sudah hilang dari benaknya, digantikan dengan
cara-cara untuk bertahan hidup ditengah ketidak adilan tersebut. Sementara
bapak Baharudin menegaskan akan terus berjuang melawan Tambang. “Saya akan
bertahan, sampai titik darah penghabisan.” Tegasnya.
***
Saya, Samarinda, dan Tambang Batu Bara.
|
Lubang bekas tambang di Bengkuring |
Begitulah. Persoalan tambang ini
memang menyangkut harkat hidup orang banyak. Semua terkait dari petani hingga
pemerintah. Lalu jika ingin dirunut lagi, siapa yang harus dipersalahkan?
Pemerintah yang tidak tegas dan mengambil untung dari ini? Perusahaan yang
semena-mena? Atau mungkin masyarakat yang salah ruang dan waktu berada dalam
lingkupan drama pertambangan ini?
Terus terang, saya pun dalam
ruang berpikir saya yang terbatas, rasanya ini semua menemui jalan buntu. Apa
yang sudah diambil tidak bisa dikembalikan lagi. Apa yang sudah terjadi tidak
bisa dihentikan lagi. Bola salju ini sudah menggelinding terlalu lama dan entah
kapan akan berhenti menyisakan kerusakan yang tidak bisa dibenahi lagi. Selalu
ada dua sisi mata uang, selalu ada dua sudut negatif dan positif dalam segala
hal. Dan selalu ada resiko di setiap pilihan.
Mungkin, kedepannya yang bisa
dilakukan adalah ajakan untuk menyerukan protes dan penegasan terhadap semua
perusahaan tambang yang lalai. Sampai kapan? Sampai suara Bapak Baharudin,
Bapak Komari dan Ibu Rahmawati bisa didengar oleh seluruh negri. Bahwa ratapan
itu suatu saat bisa jadi ratapan mereka juga. Sampai Pemerintah sadar dan mulai
memperbaiki apa yang telah dihancurkannya. Sampai Pemerintah memperhatikan
kondisi rakyatnya yang menjadi korban. Mungkin akan memakan waktu yang sangat
lama, berhubung ini semua seperti rantai yang berbelit dan tidak terputus.
Namun, setidaknya kita berusaha.
Hingga Samarinda menjadi tempat
tinggal yang lebih baik lagi.
Salam hangat dari warga
Samarinda,
Frisca Putri.
0 comments: